Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Integrasi Holistik dan Krisis Modernitas

Oleh: Damaya Noor Arifin*

Sebelum masuknya kolonialisme Eropa, sistem pendidikan di dunia Muslim didirikan di atas landasan filosofis yang unik, bersumber dari pandangan dunia Islam. Berbeda dengan model pendidikan modern yang sering memisahkan ilmu pengetahuan menjadi domain “agama” dan “sekuler,” pendekatan tradisional Muslim memandang semua pengetahuan sebagai satu kesatuan yang utuh dan koheren.

Fondasi ini tidak hanya membentuk kurikulum, tetapi juga tujuan pendidikan itu sendiri, yang berfokus pada pengembangan individu secara spiritual, intelektual, dan etis. Pendidikan dalam peradaban Muslim pra-kolonial berlandaskan pada tiga konsep utama dalam bahasa Arab, yaitu ta’lim, tarbiyya, dan ta’dib.

Ta’lim, yang berasal dari akar kata “mengetahui,” menekankan aspek kognitif dan persepsi, yaitu proses mendapatkan pengetahuan dan kesadaran. Tarbiyya, yang berarti “tumbuh” atau “memelihara,” merujuk pada pengembangan dan pertumbuhan pribadi yang mencakup pembinaan karakter dan moral.

Terakhir, ta’dib berfokus pada pembentukan individu yang berbudaya, beradab, dan berbudi luhur. Ketiga konsep ini, saat digabungkan, mencerminkan tujuan pendidikan yang komprehensif: menghasilkan individu yang tidak hanya berilmu, tetapi juga tumbuh secara rohani dan memiliki akhlak mulia.

Ciri khas utama dari pendidikan ini adalah pendekatan holistik terhadap pengetahuan. Tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu duniawi; sebaliknya, keduanya dipandang sebagai aspek yang saling melengkapi dari satu realitas yang utuh.

Kurikulum di lembaga pendidikan seperti madrasah dibagi menjadi dua kategori besar: ulum al-manqul (ilmu-ilmu yang ditransmisikan, seperti studi Al-Qur’an dan hadis) dan ulum al-ma’qul (ilmu-ilmu rasional, seperti matematika, astronomi, dan kedokteran).

Ilmu-ilmu rasional ini diajarkan dalam kerangka paradigma Islam, di mana penelitian ilmiah dipandang sebagai cara untuk merenungkan kebesaran ciptaan Tuhan dan mencari kebenaran yang lebih dalam. Pandangan ini terlihat jelas dalam karya para cendekiawan terkemuka.

Filsuf dan dokter terkenal, Ibnu Sina, tidak memandang sains sebagai terpisah secara religius atau sekuler, melainkan sebagai bagian dari kerangka pengetahuan yang lebih besar. Al-Ghazali, teolog terkemuka, juga berpandangan serupa.

Ia menganggap studi kedokteran dan matematika sebagai kewajiban komunal bagi masyarakat, karena keduanya penting untuk keberlangsungan dan kemajuan komunitas.

Pendekatan terintegrasi ini mendorong perkembangan pesat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan di dunia Muslim. Antara abad ke-9 dan ke-12, lebih banyak karya filosofis, medis, sejarah, dan astronomis ditulis dalam bahasa Arab dibandingkan bahasa lainnya. Lembaga pendidikan tidak hanya menjadi pusat studi agama, tetapi juga pusat penelitian ilmiah.

Selama periode Seljuk, misalnya, rumah sakit dan observatorium astronomi sering ditemukan berdekatan dengan madrasah. Pendekatan ini menunjukkan tidak adanya kontradiksi antara keimanan dan ilmu pengetahuan, serta antara nalar dan wahyu, yang memungkinkan peradaban Muslim untuk menciptakan sistem pengetahuan yang terpadu dan maju.

Namun, dengan masuknya kolonialisme, paradigma sekuler yang memisahkan ilmu pengetahuan dari spiritualitas mulai mendominasi, menyebabkan pergeseran signifikan dan, pada akhirnya, krisis pendidikan yang masih terasa hingga saat ini.

Kolonialisme memperkenalkan sistem sekolah yang didasarkan pada epistemologi dan pandangan dunia yang asing bagi dunia Islam, sehingga secara bertahap melemahkan otonomi dan pengaruh madrasah.

Fenomena ini juga menciptakan elit baru yang bersimpati pada proyek kolonial. Beberapa reformis Muslim, yang terkesan dengan pencapaian militer dan intelektual Barat, mulai mendirikan sekolah-sekolah baru yang meniru model pendidikan sekuler. Contohnya adalah Muhammad Ali di Mesir dan Sayyid Ahmad Khan di India, yang mendirikan sekolah berdasarkan model Eropa.

Ironisnya, proses fragmentasi ini juga terjadi dalam gerakan reformasi Islam itu sendiri. Misalnya, gerakan Deobandi, yang bertujuan untuk mereformasi kurikulum madrasah, justru membatasi fokus pendidikan hanya pada ulum al-manqul (ilmu-ilmu agama) dan mengabaikan sebagian besar ilmu rasional (ma’qul) yang sebelumnya menjadi bagian kurikulum.

Sikap ini menunjukkan adanya perpecahan internal di kalangan umat Muslim dalam memandang ilmu, yang sebelumnya terintegrasi secara utuh.

Seperti yang digambarkan oleh Al Zeera, mengimpor sistem pendidikan sekuler ke dalam masyarakat Islam ibarat “menanam pohon palem di Alaska dan mengharapkannya tumbuh secara alami dan berbuah”. Ketidakcocokan antara fondasi religius masyarakat Islam dan kerangka sekuler pendidikan Barat telah menghasilkan kelas terpelajar yang terasing dari budaya dan warisan intelektualnya sendiri.

Pada akhirnya, dasar filosofis pendidikan di dunia Muslim pra-kolonial adalah sebuah model yang utuh dan terintegrasi. Model ini tidak hanya mendorong kemajuan intelektual, tetapi juga memastikan bahwa semua ilmu pengetahuan diarahkan pada tujuan yang lebih tinggi, yaitu pemahaman tentang Tuhan dan ciptaan-Nya.

Untuk mengatasi krisis pendidikan saat ini, diperlukan upaya serius untuk mengembalikan pendekatan holistik ini, yang dikenal sebagai Islamisasi pengetahuan—sebuah proses kembali kepada pandangan dunia, kerangka epistemik, dan prinsip etika Islam.

* Ketua Departemen Pustaka, Informasi, dan Teknologi Digital PDNA Kota Yogyakarta

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *