Oleh: Agita Adriana Pasya*
Pada dasarnya, tujuan dari menjalin hubungan dengan pasangan adalah untuk saling mengenal, mencintai, melindungi, dan menghargai pasangan. Namun, realita sering kali tidak sejalan dengan harapan tersebut. Tak sedikit orang yang mengalami hal-hal tak menyenangkan dalam kisah percintaannya, seperti ketika salah satu pihak bersikap terlalu dominan atau mencoba mengontrol pasangannya secara berlebihan.
Selain itu, dorongan ego yang tinggi kerap memunculkan keinginan kuat untuk menguasai pasangan sepenuhnya. Sikap memiliki yang berlebihan ini sering kali berkembang menjadi rasa cemburu yang tidak sehat, yang pada akhirnya bisa memicu tindakan merugikan, termasuk kekerasan secara fisik maupun psikologis dalam hubungan.
Apa itu Toxic Relationship?
Solferino dan Tessitore (2021) menyebutkan bahwa Toxic Relationship merupakan gangguan dalam hubungan yang ditandai dengan ketidaksetaraan, yaitu dimana seseorang bergantung pada orang lain sehingga menimbulkan mekanisme dominasi dan ketundukan. Yani (2021) juga menyebutkan tindakan dominasi dan pengendalian ini sering dikenal sebagai ‘toxic relationship’, dimana hanya satu pihak yang merasa untung sementara pihak lainnya merasakan kerugian.
Berikut ciri-ciri Toxic Relationship dengan pasangan menurut Kusumastuti (2023), Pertama, seseorang merasa kurang mendapatkan dukungan dan penghargaan dalam hubungan. Kedua, ketika berkomunikasi, pasangan cenderung menggunakan nada sarkastik, suka mengkritik, bahkan mengancam.
Ketiga, timbul rasa saling curiga dan kurangnya kepercayaan. Keempat, salah satu atau kedua pihak membatasi aktivitas pasangannya dan berusaha mengendalikan jalannya hubungan. Kelima, untuk menghindari konflik, seseorang sering memilih berbohong atau merasa takut untuk menyampaikan kejujuran. Keenam, masalah juga muncul dalam hal pengelolaan keuangan bersama.
Dampak Toxic Relationship
Menurut Huda (2021) Toxic Relationship berisiko menimbulkan beberapa dampak negatif yaitu, pertama, dampak psikologis, yaitu ketika seseorang mengalami gangguan cara berpikir (distorsi kognitif), merasa cemas atau depresi, sulit fokus, serta kehilangan semangat dan motivasi untuk menjalani aktivitas sehari-hari.
Kedua, dampak fisik. Kekerasan dalam hubungan dapat menyebabkan cedera, mulai dari luka ringan hingga luka serius, bahkan bisa berujung pada kematian. Ketiga, dampak sosial. Korban bisa mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan sosial, dibatasi ruang geraknya, serta kehilangan peluang untuk berkembang dan membangun diri. Keempat, dampak finansial. Hubungan yang tidak sehat bisa membuat seseorang mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak penting, serta kehilangan kendali dalam mengambil keputusan keuangan atau peran dalam hubungan tersebut.
Meski begitu, banyak orang yang tetap bertahan di situasi Toxic Relationship karena beberapa hal, di antaranya: (1) Fear of being alone. Sebagian orang merasa lebih baik memiliki pasangan yang menyakitinya daripada harus menghadapi hidup sendirian, (2) Hope of change. Korban sering kali percaya bahwa pasangannya bisa berubah, apalagi jika pelaku sesekali menunjukkan sisi baik atau menyesal, (3) Normalisasi perilaku dari keluarga toxic. Jika seseorang tumbuh di lingkungan keluarga yang penuh konflik, manipulasi, atau kekerasan emosional, mereka cenderung menganggap perilaku tersebut adalah hal biasa, dan (4) Gaslighting (manipulasi). Pelaku gaslighting sering memutarbalikkan fakta, menyangkal kejadian yang sebenarnya terjadi, atau menyalahkan korban, sehingga korban mulai merasa bingung, tidak percaya diri, dan bahkan mempertanyakan realitas yang ia alami.
Cara Keluar dari Toxic Relationship
Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan untuk keluar dari Toxic Relationship, yaitu Sadari dan Akui. Tidak ada perubahan tanpa kesadaran. Tulis kejadian-kejadian sebagai bukti nyata. Kemudian bicara dengan orang terpercaya seperti teman dekat, keluarga, atau konselor bisa memberi perspektif netral. Selanjutnya bangun batasan (boundaries). Belajar berkata “tidak”, menolak guilt trip, dan mengatur ruang aman. Lalu cari pertolongan profesional. Terapi sangat membantu mengurai trauma, memperkuat harga diri, dan mengubah pola hubungan. Dan terakhir, lepaskan dengan tegas. Kadang, satu-satunya cara sembuh adalah meninggalkan hubungan itu sepenuhnya.
*Mahasiswa adalah Mahasiswa Psikologi UAD dan Konselor Magang FLC