Toxic Parenting: Ketika Kasih Sayang Orang Tua Justru Sakiti Anak

Oleh: Agita Adriana Pasya*

Menjadi orang tua adalah tanggung jawab besar. Setiap orang tua tentu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Namun, tanpa disadari, ada pola asuh yang justru bisa merusak pertumbuhan dan kesehatan mental anak. Pola asuh ini dikenal dengan istilah toxic parenting atau pengasuhan beracun.

Apa Itu Toxic Parenting?

Toxic Parenting adalah salah satu cara orang tua mengasuh dan mendidik anak dengan cara yang keliru. Kekeliruan tersebut disebabkan orang tua selalu mementingkan keinginan dan kemauannya di turuti oleh anak tanpa memikirkan kondisi anak, serta keinginan anak, dan kurang menghargai hak berpendapat pada anak. Pola perilaku ini terjadi secara beruntun karena memposisikan orang tua sebagai orang yang paling berkuasa daripada anak.

Orang tua luput menyadari bahwasanya anak juga memiliki otoritas serta kendali terhadap dirinya sendiri dan berhak menentukan pilihan sehingga efek yang terjadi adalah menyebabkan anak merasa bersalah, kesulitan dalam memecahkan masalahnya sendiri, ketakutan dalam mengambil keputusan, serta anak sulit mengembangkan dirinya menjadi remaja yang sehat secara mental dan psikis karena tekanan dari orang tua (Rifani, 2021).

Ciri-Ciri Toxic Parenting

Forwads dan Buck (2002) menjelaskan ciri- ciri dari toxic parents meliputi: Pertama, membuat anak terlibat dalam masalah orang tua sehingga anak juga ikut merasa bersalah jika menginginkan sesuatu yang dapat menyebabkan orang tua sedih atau marah dengan keinginannya itu.

Kedua, memberikan hukuman fisik yang berlebihan terhadap anak dengan alasan agar anak dapat berperilaku lebih disiplin.

Ketiga, memperlakukan anak dengan cara menekan anak secara emosional dan psikis.

Keempat, menyuap anak dengan uang atau imbalan untuk menuruti keinginan orang tua agar anak dapat lebih mendukung keinginan orang tua dibandingkan dirinya sendiri, sehingga anak tidak berkembang dan kurang mempelajari tentang dirinya sendiri.

Dampak Toxic Parenting Terhadap Anak

Menurut Ulfadhilah (2021) toxic parenting dapat menyebabkan berbagai dampak negatif pada anak yaitu, (1) Terganggunya proses pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai usianya dan hilangnya semangat pada anak, (2) Bersikap rapuh, tidak percaya diri, merasa selalu salah ketika melakukan suatu hal, serta merasa dirinya tidak berguna akibat tidak pernah dihargai, (3) Sering terlihat murung, kondisi semacam ini akan terus dirasakan oleh anak hingga mereka dewasa, (4) Kepribadian anak menjadi buruk, citra diri rendah, sulit memiliki teman, selalu merasa tidak berharga, dihantui oleh rasa bersalah, tertekan, emosi yang tidak terkendali, ansietas serta kebingungan, dan (5) Anak menjadi sulit bersosialisasi dengan orang lain dan lingkungan sehingga menjadi murung, menutup diri serta pendiam.

Cara Menghindari Toxic Parenting

Menurut Nikmatus dkk., (2024) toxic parenting dapat dihindari ketika orang tua dapat menjalin komunikasi yang baik dengan anak, contoh komunikasi yang baik terhadap anak adalah sebagai berikut.

Pertama, dengarkan anak. Biarkan anak menyampaikan pendapat dan perasaannya, lakukan pendekatan terhadap anak ketika mereka melakukan kesalahan.

Kedua, jadilah teladan, bukan diktator. Tunjukkan perilaku yang baik terhadap anak, bukan sekadar memberi perintah atau berkata kasar pada anak ketika ia melakukan kesalahan.

Ketiga, kendalikan emosi. Jangan menjadikan anak sebagai alasan untuk orang tua meluapkan emosinya

Keempat, hargai anak sebagai individu. Berikan anak kesempatan untuk mengambil keputusan yang ia miliki, tidak menekannya serta hargai privasinya dan berikan anak kesempatan untuk melakukan kegiatan yang ingin dilakukannya selagi dalam hal positif.

Menjadi orang tua bukan berarti selalu benar. Anak bukanlah objek yang bisa diatur seenaknya, tetapi individu yang juga butuh dihargai, didengarkan, dan dicintai dengan cara yang sehat. Mari bersama-sama memutus rantai toxic parenting agar generasi mendatang tumbuh menjadi pribadi yang sehat secara mental, percaya diri, dan bahagia.

*Penulis adalah Mahasiswa Psikologi UAD, dan Konselor Magang FLC

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *