Oleh: Damaya Noor Arifin*
Di balik dampak politik dan ekonomi yang terang-terangan, kolonialisme Eropa juga secara fundamental mengubah lanskap pendidikan di dunia Muslim. Sebelum era ini, tradisi pendidikan Islam didasarkan pada pendekatan holistik yang unik, yang secara intrinsik mengintegrasikan ilmu-ilmu agama (ulum al-din) dan ilmu-ilmu rasional (ulum al-ma’qul).
Dalam paradigma ini, pengetahuan dipandang sebagai satu kesatuan yang koheren, dengan tujuan utama untuk memahami alam semesta sebagai ciptaan Tuhan yang terstruktur. Namun, dengan masuknya kekuasaan kolonial, pandangan dunia yang utuh ini secara sistematis digantikan oleh model pendidikan sekuler yang terfragmentasi.
Proses ini bukan hanya sekadar merusak institusi pendidikan lama, tetapi juga secara mendalam mengikis cara pandang umat Muslim terhadap pengetahuan itu sendiri. Dampak dari ‘epistemicide‘—sebuah istilah yang tepat untuk menggambarkan penghancuran sistematis tradisi intelektual ini—adalah fragmentasi mendalam yang masih kita rasakan hingga saat ini.
Dampak paling signifikan dari kolonialisme adalah proses yang disebut ‘epistemicide‘—sebuah penghancuran intelektual yang terjadi secara paralel dengan penaklukan fisik. Alih-alih hanya menaklukkan wilayah, kolonialisme Eropa memaksakan tradisi intelektualnya yang sekuler, yang secara fundamental berbeda dari pendekatan holistik Muslim.
Sistem pendidikan yang didirikan oleh rezim kolonial tidak sekadar menawarkan alternatif, melainkan secara bertahap mengikis otonomi dan pengaruh lembaga pendidikan tradisional Muslim, seperti madrasah atau pondok pesantren, yang sebelumnya menjadi pusat ilmu pengetahuan yang mandiri.
Tujuan utama sekolah-sekolah kolonial adalah membentuk elit pribumi yang loyal untuk melayani sebagai fungsionaris administratif. Dengan menciptakan kelas baru ini, kolonialisme memastikan agendanya dapat terus berjalan bahkan setelah mereka pergi.
Seperti yang dicatat oleh Faisal Malik, begitu pejabat kolonial menghentikan upaya kolonisasi intelektual mereka, para reformis dari elit pribumi yang terdidik di Barat justru mengambil alih dan melanjutkan proyek modernisasi ini.
Dampak dari fenomena ini terlihat di seluruh dunia Muslim. Mengutip dari Handayani (2011), Muhammad Ali Pasha membangun sistem pendidikan yang berada sepenuhnya di bawah kendali pemerintah Mesir, yang berjalan berdampingan dengan lembaga tradisional seperti Al-Azhar.
Begitu pula, Ali Mubarak, seorang pejabat pendidikan Mesir yang menempuh studi di Prancis, mengkritik kurikulum tradisional Al-Azhar dan berupaya mentransformasi pendidikan nasional.
Sedangkan dii anak benua India, Sayyid Ahmad Khan mendirikan Muhammadan Anglo-Oriental College (MAO), sebuah institusi yang meniru kurikulum dan struktur Universitas Cambridge. Yang paling krusial, kurikulum di MAO secara signifikan mengurangi porsi ilmu rasional (ma’qul), yang sebelumnya merupakan bagian tak terpisahkan dari kurikulum tradisional madrasah.
Ironisnya, bahkan gerakan-gerakan reformis Muslim, seperti gerakan Deobandi yang berpengaruh di anak benua India, turut berkontribusi pada fragmentasi ini. Dalam upaya mempertahankan kemurnian Islam dari pengaruh asing, mereka secara sengaja mempersempit kurikulum madrasah.
Kurikulum ini hanya berfokus pada ulum al-manqul—ilmu-ilmu yang bersumber dari teks-teks sakral seperti Al-Quran dan hadis. Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa mereka yang menginginkan pendidikan ‘modern’ dapat mencarinya di luar sistem madrasah yang mereka kelola. Keputusan defensif ini, meskipun bermaksud baik, secara tidak sadar melegitimasi pemisahan antara pengetahuan agama dan sekuler, yang merupakan inti dari krisis pendidikan saat ini.
Sebagai kesimpulan, dampak kolonialisme pada sistem pendidikan Muslim adalah sebuah tragedi intelektual yang berjangka panjang. Dengan memaksakan model pendidikan sekuler, kolonialisme tidak hanya merusak otonomi institusi tradisional tetapi juga menciptakan fragmentasi dalam pandangan dunia Muslim terhadap pengetahuan.
Proses ini kemudian dilanjutkan oleh para reformis pribumi, yang, meskipun berniat baik, secara tidak sadar melanjutkan agenda sekularisasi pengetahuan. Akibatnya, sistem pendidikan saat ini terbelah antara model Barat dan madrasah dengan kurikulum yang dipersempit.
Untuk mengatasi krisis ini, upaya serius untuk mengintegrasikan kembali pengetahuan—seperti yang diusulkan oleh para intelektual Muslim kontemporer melalui proyek ‘Islamisasi Pengetahuan’—menjadi semakin relevan dan mendesak.
* Ketua Departemen Pustaka, Informasi, dan Teknologi Digital PDNA Kota Yogyakarta