Amina Wadud, seorang intelektual dan aktivis Islam yang berpengaruh, telah menjadi subjek kontroversi dan perhatian dalam komunitas Islam dan akademik. Dengan karyanya yang mendalam dan analisis yang holistik, Wadud telah membawa perdebatan tentang perempuan dalam Islam ke tingkat yang lebih kompleks dan inklusif. Dalam kontroversinya, ia dikenal dengan “the Lady Imam”. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi pandangan Amina Wadud tentang perempuan dan bagaimana ia mengubah cara kita memahami Islam dan hak-hak perempuan.
Latar Belakang dan Pemikiran
Amina Wadud lahir dengan nama Maria Teasley di Bethesda, Maryland, pada 25 September 1952. Ayahnya seorang Methodist dan Ibunya keturunan budak Arab. Hidayah dan ketertarikannya terhadap Islam, khususnya dalam masalah konsep keadilan dalam Islam telah mengantarkannya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada suatu hari yang ia sebut sebagai thanks giving day pada tahun 1972. Pemikiran-pemikiran Wadud tentang perempuan serta reinterpretasinya terhadap Al-Qur’an dimula dari keresahannya terhadap marginalisasi perempuan. Adanya teks-teks Al-Qur’an yang ditafsirkan secara merugikan untuk perempuan dan tidak sesuai dengan pengalaman perempuan membuatnya menafsirkan kembali secara holistic. Menurutnya bahwa Al -Qur’an sebagai pedoman universal, tidak pernah terikat ruang dan waktu, latar belakang daerah ataupun jenis kelamin yang selanjutnya bernilai abadi dan tidak membedakan jenis kelamin.
Karya Monumental: “Qur’an and Woman”
Buku “Qur’an and Woman: Rereading The Sacred Text From a Woman’s Perspective” adalah karya monumental yang menempatkan Wadud sebagai salah satu tokoh utama dalam diskusi tentang perempuan dalam Islam. Dalam buku ini, Wadud menggunakan metode penafsiran Al-Qur’an yang klasik tetapi dengan nuansa patriarki, yang kemudian ia kritik dan membangun tafsir yang lebih holistik. Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an harus dilihat dalam konteks sejarah dan sosialnya, bukan hanya sebagai teks yang statis.
Wadud menggolongkan tafsir yang telah ada pada saat itu menjadi tiga (1) Tafsir Trdisional yang menggunakan pokok bahsan tertentu sesuai minat dan kemampuan mufassirnya. (2) Tafsir Reaktif yang berisi reaksi pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami oleh perempuan yang dianggap berasal dari Al-Qur’an. (3) Tafsir Holistik yang menggunakan metode penafsiran komprehensif dan mengaitkannya dengan berbagai persoalan social, moral, ekonomi, potilik,dan isu-isu perempuan yang muncul di era moralitas. Pada golongan ketiga inilah Wadud mengusahakan penulisan tafsirnya.
Tafsir Holistik dan Keadilan Gender
Pandangan Wadud tentang perempuan dalam Islam sangat dipengaruhi oleh semangat feminisme. Ia berargumen bahwa Al-Qur’an tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam penciptaan dan tujuan. Dalam QS al-Hujurat (49) ayat 13, Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia diciptakan dari laki-laki dan perempuan, dan yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa, bukan berdasarkan jenis kelamin. Wadud menggunakan metode hermeneutik yang ia sebut dengan tafsir tauhid (holistik interpretation method), metode yang serupa dipopulerkan dari pemikiran Fazlurrahman. Dengan metode ini, pembacaan Al-Qur’an terkait hak-hak perempuan tidak lagi bias gender, tapi dapat mengungkap prinsip-prinsip fundamental seperti keadilan dan kesetaraan.
Amina Wadud dalam karyanya menyatakan bahwa, model hermeneutika nya terkait dengan tiga aspek dari teks dalam rangka mendukung kesimpulan (1) konteks di mana teks Al- Qur’an diturunkan (2 ) komposisi tata bahasa teks (3) semua teks dalam substansi sebagai pandangan dunia atau world view.
Kontroversi dan Praktik
Pandangan Wadud tentang perempuan menjadi imam sholat laki-laki telah menjadi kontroversi besar. Ia berpendapat bahwa tidak ada dalil Al-Qur’an yang melarang perempuan menjadi imam sholat, dan bahkan menunjukkan contoh hadist Ummu Waraqah yang memperbolehkan perempuan menjadi imam sholat. Praktiknya sendiri dengan mengimami sholat laki-laki dan perempuan telah menimbulkan banyak cibiran dan hujatan, tetapi juga memperkuat argumennya tentang inklusivitas dan keadilan dalam Islam.
Amina Wadud sosok yang bukan hanya berbicara teori tetapi ia juga bergerak dalam ranah praksis. Pada 18 Maret 2005 di gereja Anglikan, The Synod House of Cathedral of St. John the Divine, New York, Amerika Serikat ia menjadi Imam Shalat Jum’at sekitar lima puluh orang dari LSM Muslim Wake Up dengan saff/barisan solat yang tercampur antara laki-laki dan perempuan. Ketidaksepakatan datang dari Syaikh al-Azhar, Muhammad Sayyid al-Thanthawi di Mesir menyatakan keberatannya dan Syaikh Yusuf al-Qardhawi memvonis aksi tersebut tidak Islami dan bid’ah.
Kontribusi dan Warisan
Amina Wadud telah meninggalkan warisan yang signifikan dalam diskusi tentang perempuan dalam Islam. Melalui karyanya, ia telah membuka jalan bagi perdebatan yang lebih inklusif dan holistik tentang peran perempuan dalam agama. Wadud juga telah mempromosikan jenis tafsir gender yang lebih komprehensif, yang tidak hanya memfokuskan pada peran perempuan dalam masyarakat Islam, tetapi juga pada hak-hak dan kesempatan mereka dalam beragama.
Dalam kesimpulan, Amina Wadud adalah seorang intelektual yang revolusioner dalam memahami perempuan dalam Islam. Dengan analisis yang holistik dan metode penafsiran yang inklusif, ia telah membawa perdebatan tentang perempuan ke tingkat yang lebih kompleks dan inklusif. Karya-karya Amina Wadud akan terus menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang berjuang untuk keadilan gender dalam konteks Islam.
