Oleh: Mayda Dwi Hadiyanti*
Di ruang keluarga atau di meja makan, perbincangan tentang “nafkah” sering kali berhenti pada satu gambaran klasik: seorang suami memberikan amplop berisi uang kepada istrinya di awal bulan. Nafkah dimaknai sebagai kewajiban finansial mutlak suami dan hak istri yang harus dipenuhi.
Konsep ini begitu mengakar kuat dalam masyarakat kita, didukung oleh interpretasi fikih klasik yang menempatkan suami sebagai qawwam yakni pemimpin dan penanggung jawab utama keluarga.
Tidak ada yang salah secara inheren dengan pemahaman ini. Dalam konteks historisnya, konsep tersebut sangat progresif, memastikan perempuan terlindungi secara ekonomi dalam struktur masyarakat patriarkal di mana akses mereka terhadap sumber daya sangat terbatas. Namun, zaman telah berubah. Realitas keluarga modern sering kali jauh lebih kompleks.
Bagaimana jika istri memiliki penghasilan yang lebih tinggi? Bagaimana jika suami, karena satu dan lain hal, kehilangan pekerjaan dan istri menjadi tulang punggung keluarga? Bagaimana kita menghargai kerja domestik istri yang tak terhitung nilainya dalam Rupiah? Apakah konsep nafkah yang kaku dan satu arah masih relevan?
Di sinilah perspektif mubadalah menawarkan sebuah oase pencerahan. Mubadalah, yang secara harfiah berarti “kesalingan” atau “resiprositas” adalah sebuah pendekatan untuk memahami teks-teks keagamaan dengan semangat kemitraan dan keadilan gender.
Dipopulerkan oleh salah satu pemikir Islam Indonesia, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, perspektif ini mengajak kita untuk melihat relasi suami-istri bukan sebagai hubungan hierarkis atasan-bawahan, melainkan sebagai kemitraan (syirkah) yang setara. Jika pernikahan adalah sebuah kemitraan, maka konsep nafkah pun perlu digeser dari sekadar “kewajiban suami” menjadi “tanggung jawab bersama”.
Dari Kewajiban Satu Arah ke Tanggung Jawab Bersama
Dalam perspektif mubadalah, nafkah tidak lagi dipandang sebagai aliran dana dari suami ke istri semata. Nafkah dimaknai secara lebih luas sebagai segala bentuk kontribusi yang menopang keberlangsungan dan kesejahteraan rumah tangga.
Ini bisa berupa materi, tenaga, waktu, pikiran, hingga dukungan emosional. Dengan lensa ini, tanggung jawab menafkahi keluarga bukan lagi beban yang dipikul sendirian oleh suami, melainkan sebuah proyek bersama yang dikelola oleh kedua belah pihak berdasarkan kapasitas, kerelaan (ridha), dan kesepakatan bersama.
Mari kita lihat bagaimana ini bekerja dalam praktik: Pertama, ketika istri adalah ibu rumah tangga. Dalam kerangka tradisional, pekerjaan domestik istri, memasak, membersihkan rumah, mengurus anak, sering kali tidak dianggap sebagai “nafkah”. Ia dilihat sebagai “pengabdian” atau “kewajiban kodrati”. Perspektif mubadalah menolak pandangan ini.
Pekerjaan domestik yang dilakukan istri adalah bentuk nafkah non-finansial yang nilainya luar biasa besar. Ia menginvestasikan waktu, energi, dan emosinya untuk memastikan rumah tangga berjalan. Sementara itu, suami memberikan nafkah dalam bentuk finansial. Dalam skema ini, keduanya sama-sama pemberi nafkah. Terjadi kesalingan: suami menafkahi istri dan keluarga dengan hartanya, istri menafkahi suami dan keluarga dengan kerja dan waktunya.
Kedua, ketika suami dan istri bekerja. Ini adalah realitas mayoritas keluarga urban saat ini. Jika keduanya berpenghasilan, konsep nafkah sebagai kewajiban tunggal suami menjadi tidak relevan. Tanggung jawab finansial menjadi milik bersama. Bukan lagi soal “uang suami” dan “uang istri”, melainkan “anggaran keluarga”.
Siapa membayar cicilan rumah, siapa membayar biaya sekolah anak, menjadi detail teknis yang disepakati bersama. Beban finansial yang dipikul bersama akan terasa lebih ringan dan memperkuat ikatan kemitraan mereka. Suami tetap bisa menyalurkan “nafkah” dalam arti simbolis sebagai bentuk cinta dan perhatian, namun substansinya adalah tanggung jawab bersama.
Nafkah adalah Kesejahteraan, Bukan Transaksi
Salah satu kritik terhadap pemahaman nafkah yang kaku adalah potensinya untuk menciptakan hubungan transaksional: suami memberi uang, istri memberi “layanan”. Ini mereduksi ikatan suci pernikahan menjadi sekadar kontrak ekonomi. Mubadalah mengembalikan esensi nafkah pada tujuan utama pernikahan itu sendiri, yaitu untuk menciptakan ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah).
Nafkah adalah alat untuk mencapai kesejahteraan bersama, bukan tujuan itu sendiri. Ketika suami memberikan dukungan emosional saat istri lelah bekerja, itu adalah nafkah batin. Ketika istri menyiapkan sarapan agar suami bersemangat memulai hari, itu juga adalah nafkah.
Perspektif ini tidak sedang menghapus tanggung jawab suami. Sebaliknya, ia memperluas makna tanggung jawab itu sendiri dan mengajak istri untuk turut menjadi subjek aktif dalam menyejahterakan keluarga, peran yang sesungguhnya sudah banyak dilakukan perempuan tanpa pengakuan yang layak.
Memaknai ulang nafkah melalui kacamata mubadalah adalah langkah untuk membangun keluarga yang lebih adil, tangguh, dan kolaboratif. Ini adalah tentang beralih dari logika “kewajiban dan hak” yang kaku menuju semangat “kerjasama dan saling menopang”.
Dari sinilah penting untuk dipahami bahwa rumah tangga yang paling kokoh bukanlah yang ditopang oleh satu tiang penyangga, melainkan yang dibangun di atas fondasi kemitraan di mana suami dan istri berdiri sejajar, saling menggenggam tangan, dan berjalan bersama menuju tujuan yang sama: kebahagiaan dunia dan akhirat.
*Ketua Departemen Pustaka Informasi dan Teknologi Digital PCNA Depok